Problem |
Eksistensi hoax diproduksi karena secara natural dalam diri manusia ada sisi gelap seperti kebencian, ketidaksukaan, dan ketidakmampuan dalam menyikapi perbedaan. Dan hoax, semakin massif ketika instrumennya tersedia dan ada dalam satu genggaman tangan dan kian subur manakala dipolitisasi untuk kepentingan jangka pendek.
Dalam hoax yang "dimainkan" adalah identitas sosial seseorang, baik individu atau kelompok. untuk menyerang individu atau kelompok-kelompok tertentu yang digunakan adalah identitas suku, agama, dan ras atau SARA. Caranya adalah dengan merendahkan martabat orang lain. Dampaknya kemudian menimbulkan kebencian dan perpecahan.
Jika kondisi ini dibiarkan, lambat namun pasti, harmoni kebangsaan dan keindonesiaan kita akan terus terkoyak akibat kepicikan dan kedunguan yang terus dihembuskan. Jadi kondisi ini harus dilawan secara berjamaah.
Soal Kebodohan
Seturut dengan soal kebohongan akibat syahwat menebar kebencian di media-media sosial, masalah besar yang belum bisa kita tuntaskan sampai hari ini adalah kebodohan dan kedunguan. Kebodohan relatif lebih mudah diatasi ketimbang kedunguan. Kedunguan hanya terjadi pada mereka yang tidak mampu menempatkan kepintaran dan kecerdasannya bagi kemanusiaan, menjadi lebih cerdas dan berbudaya luhur, melainkan merendahkan karena ada ego kepentingan.
Adalah Napoleon Bonaparte yang percaya bahwa kedunguan dalam politik bukanlah sebuah rintangan. Apa maksud dan tujuan ucapan Bonaparte, hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Untuk memahami secara utuh apa yang dikatakan Bonaparte, kita mesti menulusuri apa konteks dan setting sosial politik yang melatarbelakanginya, atau mudahnya, apa yang menjadi asbab nujulnya.
Secara diksi memang artinya bisa bersayap, namun marilah kita maknai dari sisi yang positif. Dimana maksud dan tujuan dari frase bukanlah sebuah rintangan dalam berpolitik untuk sebuah kedungan, bahwa dalam kegiatan politik praktis sejatinya tidak membodohi orang lain dan menutup mata dan telinga terhadap aspirasi rakyat. Dan ketika politik dijadikan instrumen meraih kekuasaan hanya untuk mensejahtrakan dirinya dan kelompoknya serta buta-tuli atas apa yang diderita masyarakat maka itulah kedunguan atau dagelan yang sedang diperagakannya.
Literasi
Hoax dan kebodohan, salah satu cara efektif untuk mengatasinya, adalah melalu kegiatan literasi secara berkesinambungan. Dalam berkegiatan literasi yang terjadi bukan sekedar membaca dan menelan bulat-bulat informasi yang dibaca, melainkan menganalisa informasi lebih dalam, akan sejauh mana kebenarannya.
Sejauh ini literasi belum menjadi sebuah budaya dalam konteks keindonesiaan kita. Oleh karena itu masyarakat mudah sekali termakan informasi hoax dan kedunguan. Butuh waktu, butuh kesabaran, dan kerja keras untuk mengatasi kondisi seperti ini. Sebab dilapangan masih kita jumpai, meski anggaran pendidikan kita 20 % dari APBN, ternyata belum mampu menaikan indeks literasi nasional. Menurut hasil riset UNESCO ,indeks minat baca Indonesia 0,0001 % yang artinya dari 1000 orang penduduk hanya satu orang serius membaca . Kemudian survei Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan minat baca anak anak Indonesia hanya 17,66 persen sementara minat nonton mencapai 91,66 persen.
Dan masih ramainya akun yang menebar kebencian, terlebih di tahun krusial saat ini, tahun politik, begitu orang menyebutnya.
Adakah solusinya? Solusi jangka pendek adalah penegakkan aturan dan hukum. Tutup akun-akun yang berpotensi meresahkan dan tindak secara tegas (hukum) tanpa tebang pilih pelaku-pelakunya. Tindakan represif ini sangat urgent, namun tidak membuat masyarakat menjadi lebih matang dan dewasa. Maka perlu upaya jangka panjang, yaitu penguatan kegiatan literasi untuk semua. Dan idealnya ini dimulai dari rapat-rapat anggota parlemen, kementrian, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia pendidikan. Di jagat pendidikan, adalah para guru dan dosen sebagai motornya dan suri tauladannya.
Oleh: Muchsin Ismail