Ujian |
Banyak anak mengeluh dengan semua ini, mereka yang tidak terbiasa dengan kegiatan yang padat dan menguras pikiran dan tenaga mengalami tekanan hebat dan sulit berkonsentrasi.
Disi lainnya, hasil ujian tidak pernah bisa menangkap usaha belajar seseorang. Nilai tidak pernah cukup menandakan kerja keras seorang murid. Inilah yang harus disadari oleh semua pendidik di Indonesia. Proses belajar, yang merupakan proses yang berkelanjutan dan dinamis, tidak akan pernah bisa dipahami hanya dengan melihat nilai.
Dalam konteks ini guru tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Karena apa yang dilakukan oleh para guru hanya mengikuti kalender pendidikan yang telah digariskan oleh pemerintah. Dan, sejatinya pendidikan merupakan urusan bersama, ia bukan hanya milik para ahli pendidikan dan praktisi, melainkan semua orang yang peduli pada pendidikan.
Racun Pendidikan
Jika demikian adanya, kiranya kita semua harus sadar bawha pendidikan kita telah mengidap racun yang berbahaya. A. A Reza Wattimena mengidentifikasi ada lima racun di jagad pendidikan kita, yaitu:
Pertama, pendidikan kita sekarang ini hanya memiliki satu tujuan, yakni lulus tes. Pendidikan kehilangan akar dan tujuan luhurnya, dan menjadi semata soal kelulusan tes. Padahal, tes yang dibuat seringkali tidak mencerminkan kemampuan apa adanya, melainkan hanya potret sesaat dari keadaan yang sejatinya terus berubah. Pendek kata, tes-tes yang dilakukan, sesungguhnya, tidak hanya tidak berguna, tetapi juga merusak, karena membunuh roh hakiki pendidikan itu sendiri.
Baca juga, Menyoal Kecerdasan, Hindari Jebakan "Bat Man"
Dua, pendidikan kita terjebak pada kedangkalan. Ia hanya mendidik orang untuk menjadi pekerja di perusahaan-perusahaan, ataupun organisasi pemerintah. Pendidikan pun disempitkan hanya menjadi semata ketrampilan praktis dan kepatuhan di dalam menaati perintah atasan. Di dalam pendidikan semacam ini, manusia diubah menjadi layaknya robot ataupun mesin yang siap bekerja, ketika tombol ditekan.
Tiga, pendidikan juga terjebak pada mental dogmatik. Mental semacam ini menghormati tradisi dan agama secara buta, tanpa sikap kritis. Pendidikan pun berubah menjadi tempat cuci otak yang tidak hanya memperbodoh manusia, tetapi juga menyiksa batin mereka. Tak heran, orang-orang fanatik dan intoleran, yang merusak rajutan Pancasila dan Ke-Indonesiaan, bertumbuh subur di sekolah-sekolah kita.
Empat, pendidikan kita hanya berfokus pada kepintaran intelektual semata. Hal-hal lain dalam diri manusia, seperti hasrat, emosi dan rasa, cenderung diabaikan. Akibatnya, pendidikan menghasilkan manusia-manusia berkepala, namun tanpa hati dan empati. Orang bisa menjadi begitu cerdas dan rasional, namun kejam tanpa nurani.
Lima, pendidikan kita juga terjebak pada feodalisme. Guru dan orang tua menjadi pihak-pihak yang gila hormat. Mereka memaksakan cara pandang mereka ke generasi muda, dan menjadi jahat, ketika diberikan pertanyaan-pertanyaan kritis. Budaya feodalisme ini juga membunuh rasa ingin tahu sekaligus sikap kreatif yang menjadi jantung hati pendidikan.
Sikap pembiaran terhadap berbagai racun yang eksis dalam jagad pendidikan kita, akan membuat masa depan bangsa ini menjadi impoten, tidak mempunyai daya guna dan daya saing, serta kehilangan imunitas terhadap tantangan global yang semakin nyata, salah satunya kehilangan kemampuan membedakan informasi hoax dan menyesatkan dan benar mencerahkan peradaban. Itu terjadi karena generasi pewaris masa depan terkontaminasi racun berbahaya.
Oleh Muchsin Ismail