Idea |
Tidak ada satu negara pun yang menganggap remeh peran dan tujuan pendidikan untuk kemajuan suatu bangsa. Dan sebab itu, pendidikan dirumuskan sedemikian rupa untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.
Pendidikan adalah kebutuhan manusia sepanjang jaman. Ia tak lekang oleh waktu dan ruang. Oleh karena itu pendidikan dilaksanakan oleh umat manusia demi untuk tujuan yang bisa bermacam-macam. Namun demikian, garis besarnya, adalah untuk meningkatkan dan menumbuh kembangkan kemampuan manusia di semua aspek kehidupan: material dan immaterial serta fisik dan psyikis.
Syed Habibul Haq Nadvi mencatat, bahwa orang-orang Yunani membutuhkan pendidikan demi rasio, orang-orang Romawi demi tatanan, orang-orang Yahudi demi Perjanjian, dan orang-orang Kristen demi kesantaan; abad pertengahan menuntut pendidikan demi individualitas. Para cendikiawan abad ke tujuh belas seperti John Ames, Commenius, Jean Jacques Rosseau, Johan Heinrich, Pestalizzi, Friedrich Frcebel, membela pendidikan demi komuni. Dan abad rasio menuntut pendidikan demi kemerdekaan berpikir. Revolusi Prancis menghasilkan beberapa pelopor edukasionis rasionalis yang sikapnya mempengaruhi konsep Amerika Serikat mengenai masyarakat bebas dan majemuk. John Dewey memegang peran penting dan memberi banyak andil terhadap pendidikan progresif.
Pendulum Pendidikan
Dalam pada itu, sistem Pendidikan Nasional yang dikharapkan para founding father, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, versi Amandemen, adalah “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang” (Pasal 31, ayat 3). Dan di Pasal 31, ayat 5 disebutkan, “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahtraan umat manusia”.
Pendidikan Nasional dalam UUD 1945, kemudian dijabarkan dam UU No.20 Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, “Pendidkan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Pendidikan Indonesia, seperti yang bisa dibaca dalam UUD 1945 dan penjabarannya dalam UU No.2 Tahun 2003, secara eksplisit menghendeki adanya keseimbangan dari sisi immaterial dan material. Artinya yang hendak dicapai bukan un-sich kesejahtraan rakyat secara ekonomi, namun melainkan juga memiliki kekayaan budi pekerti dan akhlak mulia, tidak merusak melainkan melestarikan, dan bukan mengeksploitasi tapi mengayakan dengan bijak.
Namun apa sesungguhnya yang terjadi di panggung kehidupan publik saat ini? Secara kasat mata bisa dilihat karakter kehidupan manusia di dunia, termasuk di Indonesia dewasa ini, karakter peradaban kita begitu kuat dipengaruhi cara pandang kapitalistik. Cara pandang demikian membuat kita tersesatkan, sempit, dan picik. Kita bisa merasakan kini dan disini karakteristik “to be”, menjadi, dan “to have”, memiliki, telah membudaya dalam kehidupan masyarakat. Maka tidak perlu sock jika keseharian kita, politik demikian gaduh, penangkapan atas koruptor dimana-mana, dan menipisnya kepedulian terhadap sesama. Ambisi duniawi telah membutakan mata hati, segala cara dilakukan dan menghalalkan segala hal, yang penting to be some thing: menjadi pejabat, penguasa, dan pengusaha tercapai. Kalau sudah demikian adanya, tiket untuk to have sudah digenggaman tangan.
Demikian cermin pendidikan yang semata mengagungkan rasio dan pendidikan diorientasikan untuk melahirkan anak didik dengan kecerdasan berpikir, sementara abai dengan kecerdasan-kecerdasan lainnya, seperti kecerdasan sosial, politik dan emosi. Oleh karena itu, pekerjaan besar di depan mata adalah bagaimana mengembalikan pendulum pendidikan kembali ke tengah dalam sistem pengajaran dan pembelajaran?
Baca Juga: Menyoal Kecerdasa, Hindari Jebakan "Bat Man"
Kembali ke Gagasan Awal
Akhirnya, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, semua pihak perlu diingatkan ke dasar awal gagasan-gagasan pendidikan itu diselenggarakan. Syed Habibul Haq Nadvi setelah mecermati paradigma pendidikan dalam Islam dan Kristen menegaskan, bahwa gagasan-gasan Islam dan Kristen mengenai Pendidikan berakar dari gagasan-gagasan tentang manusia, Tuhan, hidup, mati, dan alam semesta. Penerawangan mereka terhadap hakekat manusia dan tatanan-tatanan sosial, alamiah serta supernatural, tempat tinggal manusia, merupakan faktor perangsang dalam pendidikan. Hanya dasar pemikiran semacam inilah yang dapat memadukan kesenjangan yang semakin melebar dari subjek, objek, gagasan dan bahan yang terlibat dalam proses pendidikan.