Pendidikan Politik di Tahun Politik

Oleh Muchsin Ismail
Pendidikan dan Politik

Tahun 2018 ini disebut-sebut sebagai tahun politik. Seratus lebih gelaran pilkada akan diselenggarakan pada tahun iini dan tahun depan, 2019, akan ada perhelatan pileg dan pilpres. Satu hal yang bisa dipastikan pada moment ini adalah meningkatnya suhu politik.
Politik Indonesia akan memanas seturut dengan adanya pemilu, sebab dalam kontestasi politik ternyata segala cara dilakukan, setidaknya dari pengalaman yang sudah-sudah, guna mencapai tujuan, yakni meraih dan atau menduduki kekuasaan dan jabatan politik.

Banyak kalangan khawatir karena kontestasi tadi masyarakat Indonesia kemudian akan terbelah, mengalami disharmoni, dan mengoyak persatuan dan kesatuan. Maka dalam konteks ini mari kita makanai statement Prabowo Subianto yang menyatakan Indonesia akan bubar pada 2030, sebagai bagian dari peringatan dini, early warning, atas fenomena keterbelahan publik yang demikian kasat mata sejak pilkada DKI.

Memang dari Prabowo kita tahu pernyataannya didasarkan pada novel fiksi an sich. Prabowo mengatakan bahwa Indonesia akan bubar tahun 2030. Prabowo mengutip pandangan buku fiksi karya ahli strategi Amerika, Peter Warren Singer, berjudul "Ghost Fleet". Namun, sekali lagi, karenan pernyataannya publik dapat disadarkan bahwa potensi itu ada manakala konflik tidak bisa dikelola dengan cerdas dan baik.

Pendidikan Politik

Dalam alam demokrasi dengan pendidikan politiknya yang masih rendah, demokrasi publik mudah sekali untuk dibajak serta digiring oleh opini hoax sekalipun. Dan karena itu, kita butuh upaya sungguh-sungguh agar masyarakat Indonesia memiliki tingkat kecerdasan politik tertentu supaya bisa menjelma sebagai pemilih rasional yang didasarkan etik politik mumpuni. . Ia sanggup untuk menolak segala bentuk money politik dan pada saat bersamaan mampu memilih kandidat terbaik dari paslon yang tersedia.
Pertanyaannya kemudian, apa yang bisa diupayakan untuk melahirkan para pemilih rasional dalam jagat pokitik nasional sehingga ritual lima tahunan itu dapat berjalan mulus dan kalau pun ada konflik tidak begitu signifikant?

Pendidikan politik tugas utamanya ada pada negara. Lantas, siapa itu negara? Negara dalam konsepsi trias politika sebagaimana yang kita anut terdapat tiga bagian, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ketiga organ negara ini, bila mau kita sederhanakan, bisa disebut sebagai pemerintah dan yang diluar darinya adalah masyarakat.

Oleh karena itu, pemerintah memiliki tanggung jawab, bukan sekedar tanggungjawab moral melainkan juga tanggungjawab konstitusinal, untuk melakukannya, termasuk memberikanpendidikan politik kepada masyarakat luas. Ketika tanggungjawab moral dan konstitusinal ini tidak bisa dipenuhi maka sesungguhnya tengah terjadi pelanggaran terhadap konstitusi dan ada konsekuensi hukumnya.

Pemerintah ada karena adanya trust dari masyarakat. Pada saat pemerintah kehilangan trust secara nyata ia akan jatuh atau dijatuhkan oleh kekuatan civil sociaty.

Penulis berkharap, pemerintah dapat secara maksimal melakukan tugas dan fungsi utamanya bersama-sama kekuatan civil sociaty lainnya dalam melayani dan mensejahtrakan, memenuhi kebutuhan pendidikan dan kesehatan warga negara, dan tak kalah seriusnya menghadirkan rasa aman dan tentram.

Semoga tahun politik ini bisa dilalui dengan aman dan damai!

Diskusi Minus Etika Pendidikan Berdiskusi

Isu-isu sosial budaya pendidikan
Diskusi
Dalam acara Indonesia Lawyers Club, ILC, yang digawangi Karni Ilyas di medio Maret 2018, mengambil tema "Mengintervensi KPK?". Para pakar hukum, politisi, dan aktivis pemberantasan korupsi hadir, diundang, meramaikan acara diskusi yang kiranya mendapat perhatian publik secara luas. 

Malam itu, sebagaimana di ILC yang sudah-sudah, kerap kita jumpai nara sumber yang menyampaikan pikiran-pikirannya secara menggebu-gebu menyerang individu dan lembaga tertentu. Yang tergelar akhirnya melenceng dari marwah diskusi: memperluas cakrawala pemikiran dan mengayakan khazanah ilmu pengetahuan. 

Tentunya beda berdebat dan berdiskusi. Dalam berdebat orang akan menyampaikan pikiran-pikirannya untuk menguasai dan memenangkan wacana dengan apa pun cara yang digunakannya, termasuk menyerang sisi kehidupan lawan bicaranya. 

Sementara itu dalam berdiskusi kita harus memerhatikan etika berdikusi. Dalam vidio.com, Selasa (9/5/2017), sebagaimana dikutif liputan 6 dengan judul "5 Etika dan Tata Krama Menyampaikan Pendapat pada Orang Lain", point-point yang harus diperhatikan dalam berdiskusi adalah sebagai berikut

Pertama, sampaikan pendapat Anda dengan cara yang sopan
Saat ingin mengungkapkan pendapat, sampaikan dengan kata-kata yang sopan dan santun. Tidak dengan kata-kata yang kasar yang disertai dengan makian sehingga akan menyakiti orang lain.

Kedua, ketahui kapasitas pengetahuan Anda
Sebelum menyampaikan pendapat, pastikan Anda tahu kapasitas dan pemahaman yang cukup tentang tema pendapat yang akan disampaikan. Hal ini untuk menghindari terjadinya perdebatan yang tidak sesuai dengan topik dan menimbulkan konflik.

Ketiga, memiliki dasar argumen yang kuat dan jelas
Sebaiknya Anda memiliki dasar argumen yang kuat dan jelas ketika menyampaikan pendapat. Lebih baik lagi jika Anda pun memiliki beberapa data dan fakta yang menunjang pendapat untuk disampaikan.

Keempat, tidak memotong pembicaraan lawan bicara. 
Jangan memotong pembicaraan lawan bicara Anda ketika akan menyampaikan pendapat. Biarkan lawan bicara menyampaikan pendapatnya hingga selesai dan jelas, lalu tanggapi pendapatnya setelah dipersilakan untuk bicara.

Kelima, tidak menyerang pribadi lawan bicara. Sebaiknya tidak menyerang pribadi lawan bicara Anda apabila tidak setuju dengan pendapat orang lain. Apalagi jika tidak berhubungan dengan topik diskusi. Hal ini tentu saja menjadi satu hal yang dapat memicu konflik bila dilakukan dalam sebuah diskusi.

Demikian etika dan tata krama yang harus diperhatikan dan dilakukan dalam menyampaikan pendapat kepada orang lain, yang merupakan cerminan untuk menjunjung tinggi kebebasan berekspresi.
Baca juga, Bagimu Kebohongan dan Kedunguan 
Sekiranya, forumnya terbatas dan tidak live barangkali masyarakat awam tidak akan terdampak oleh pikiran-pikiran yang bisa menyesatkan. Oleh karena tidak ada seorang pun yang bisa mengontrol pikiran orang lain, maka disini dibutuhkan seorang host yang cerdas dalam mengontrol jalannya diskusi. 

Pelajaran berharganya adalah sejak dini, ketika anak berada pada usia sekolah, anak diajarkan bagaimana berdiskusi yang benar agar kelak ketika mereka menduduki jabatan politik tertentu dan sebagai publik figure benar-benar menjadi suri tauladan bagi generasi berikutnya.

Ketika Ujian Segalanya, Berarti Terkontaminasi Racun

Isu-isu strategis bidang pendidikan
Ujian
Kini, menjelang berakhirnya tahun pembelejaran, baik siswa maupun guru disibukkan dengan serangkaian kegiatan ulangan atau ujian. Untuk siswa kelas akhir ada kegiatan Try Out, Simulasi UNBK, UNBK, Ujian Sekolah, dan Ujian praktik. Lantas, apa hasil akhir dari semua kegiatan ini, apakah anak tambah pintar, atau malahan yang didapat kelelahan dan stress. 

Banyak anak mengeluh dengan semua ini, mereka yang tidak terbiasa dengan kegiatan yang padat dan menguras pikiran dan tenaga mengalami tekanan hebat dan sulit berkonsentrasi. 

Disi lainnya, hasil ujian tidak pernah bisa menangkap usaha belajar seseorang. Nilai tidak pernah cukup menandakan kerja keras seorang murid. Inilah yang harus disadari oleh semua pendidik di Indonesia. Proses belajar, yang merupakan proses yang berkelanjutan dan dinamis, tidak akan pernah bisa dipahami hanya dengan melihat nilai.

Dalam konteks ini guru tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Karena apa yang dilakukan oleh para guru hanya mengikuti kalender pendidikan yang telah digariskan oleh pemerintah. Dan, sejatinya pendidikan merupakan urusan bersama, ia bukan hanya milik para ahli pendidikan dan praktisi, melainkan semua orang yang peduli pada pendidikan. 

Racun Pendidikan 

Jika demikian adanya, kiranya kita semua harus sadar bawha pendidikan kita telah mengidap racun yang berbahaya. A. A Reza Wattimena mengidentifikasi ada lima racun di jagad pendidikan kita, yaitu: 

Pertama, pendidikan kita sekarang ini hanya memiliki satu tujuan, yakni lulus tes. Pendidikan kehilangan akar dan tujuan luhurnya, dan menjadi semata soal kelulusan tes. Padahal, tes yang dibuat seringkali tidak mencerminkan kemampuan apa adanya, melainkan hanya potret sesaat dari keadaan yang sejatinya terus berubah. Pendek kata, tes-tes yang dilakukan, sesungguhnya, tidak hanya tidak berguna, tetapi juga merusak, karena membunuh roh hakiki pendidikan itu sendiri.
Baca juga, Menyoal Kecerdasan, Hindari Jebakan "Bat Man" 

Dua, pendidikan kita terjebak pada kedangkalan. Ia hanya mendidik orang untuk menjadi pekerja di perusahaan-perusahaan, ataupun organisasi pemerintah. Pendidikan pun disempitkan hanya menjadi semata ketrampilan praktis dan kepatuhan di dalam menaati perintah atasan. Di dalam pendidikan semacam ini, manusia diubah menjadi layaknya robot ataupun mesin yang siap bekerja, ketika tombol ditekan. 

Tiga, pendidikan juga terjebak pada mental dogmatik. Mental semacam ini menghormati tradisi dan agama secara buta, tanpa sikap kritis. Pendidikan pun berubah menjadi tempat cuci otak yang tidak hanya memperbodoh manusia, tetapi juga menyiksa batin mereka. Tak heran, orang-orang fanatik dan intoleran, yang merusak rajutan Pancasila dan Ke-Indonesiaan, bertumbuh subur di sekolah-sekolah kita. 

Empat, pendidikan kita hanya berfokus pada kepintaran intelektual semata. Hal-hal lain dalam diri manusia, seperti hasrat, emosi dan rasa, cenderung diabaikan. Akibatnya, pendidikan menghasilkan manusia-manusia berkepala, namun tanpa hati dan empati. Orang bisa menjadi begitu cerdas dan rasional, namun kejam tanpa nurani. 

Lima, pendidikan kita juga terjebak pada feodalisme. Guru dan orang tua menjadi pihak-pihak yang gila hormat. Mereka memaksakan cara pandang mereka ke generasi muda, dan menjadi jahat, ketika diberikan pertanyaan-pertanyaan kritis. Budaya feodalisme ini juga membunuh rasa ingin tahu sekaligus sikap kreatif yang menjadi jantung hati pendidikan. 

Sikap pembiaran terhadap berbagai racun yang eksis dalam jagad pendidikan kita, akan membuat masa depan bangsa ini menjadi impoten, tidak mempunyai daya guna dan daya saing, serta kehilangan imunitas terhadap tantangan global yang semakin nyata, salah satunya kehilangan kemampuan membedakan informasi hoax dan menyesatkan dan benar mencerahkan peradaban. Itu terjadi karena generasi pewaris masa depan terkontaminasi racun berbahaya.

Oleh Muchsin Ismail

Bagimu Kebohongan dan Kedunguan

Problem
Ada dua problem besar yang dihadapi oleh publik Indonesia saat ini, yakni kebohongan dan kedunguan atau kebodohan. Dua masalah ini sudah sedemikian kasat mata dan benar-benar meresahkan masyarakat yang cinta damai dan masyarakat yang mengapresiasi kecerdasan. 

Eksistensi hoax diproduksi karena secara natural dalam diri manusia ada sisi gelap seperti kebencian, ketidaksukaan, dan ketidakmampuan dalam menyikapi perbedaan. Dan hoax, semakin massif ketika instrumennya tersedia dan ada dalam satu genggaman tangan dan kian subur manakala dipolitisasi untuk kepentingan jangka pendek. 

Dalam hoax yang "dimainkan" adalah identitas sosial seseorang, baik individu atau kelompok. untuk menyerang individu atau kelompok-kelompok tertentu yang digunakan adalah identitas suku, agama, dan ras atau SARA. Caranya adalah dengan merendahkan martabat orang lain. Dampaknya kemudian menimbulkan kebencian dan perpecahan. 

Jika kondisi ini dibiarkan, lambat namun pasti, harmoni kebangsaan dan keindonesiaan kita akan terus terkoyak akibat kepicikan dan kedunguan yang terus dihembuskan. Jadi kondisi ini harus dilawan secara berjamaah. 

Soal Kebodohan 

Seturut dengan soal kebohongan akibat syahwat menebar kebencian di media-media sosial, masalah besar yang belum bisa kita tuntaskan sampai hari ini adalah kebodohan dan kedunguan. Kebodohan relatif lebih mudah diatasi ketimbang kedunguan. Kedunguan hanya terjadi pada mereka yang tidak mampu menempatkan kepintaran dan kecerdasannya bagi kemanusiaan, menjadi lebih cerdas dan berbudaya luhur, melainkan merendahkan karena ada ego kepentingan. 

Adalah Napoleon Bonaparte yang percaya bahwa kedunguan dalam politik bukanlah sebuah rintangan. Apa maksud dan tujuan ucapan Bonaparte, hanya dia dan Tuhan yang tahu. 

Untuk memahami secara utuh apa yang dikatakan Bonaparte, kita mesti menulusuri apa konteks dan setting sosial politik yang melatarbelakanginya, atau mudahnya, apa yang menjadi asbab nujulnya. 

Secara diksi memang artinya bisa bersayap, namun marilah kita maknai dari sisi yang positif. Dimana maksud dan tujuan dari frase bukanlah sebuah rintangan dalam berpolitik untuk sebuah kedungan, bahwa dalam kegiatan politik praktis sejatinya tidak membodohi orang lain dan menutup mata dan telinga terhadap aspirasi rakyat. Dan ketika politik dijadikan instrumen meraih kekuasaan hanya untuk mensejahtrakan dirinya dan kelompoknya serta buta-tuli atas apa yang diderita masyarakat maka itulah kedunguan atau dagelan yang sedang diperagakannya. 

Literasi 

Hoax dan kebodohan, salah satu cara efektif untuk mengatasinya, adalah melalu kegiatan literasi secara berkesinambungan. Dalam berkegiatan literasi yang terjadi bukan sekedar membaca dan menelan bulat-bulat informasi yang dibaca, melainkan menganalisa informasi lebih dalam, akan sejauh mana kebenarannya. 

Sejauh ini literasi belum menjadi sebuah budaya dalam konteks keindonesiaan kita. Oleh karena itu masyarakat mudah sekali termakan informasi hoax dan kedunguan. Butuh waktu, butuh kesabaran, dan kerja keras untuk mengatasi kondisi seperti ini. Sebab dilapangan masih kita jumpai, meski anggaran pendidikan kita 20 % dari APBN, ternyata belum mampu menaikan indeks literasi nasional. Menurut hasil riset UNESCO ,indeks minat baca Indonesia 0,0001 % yang artinya dari 1000 orang penduduk hanya satu orang serius membaca . Kemudian survei Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan minat baca anak anak Indonesia hanya 17,66 persen sementara minat nonton mencapai 91,66 persen. 

Dan masih ramainya akun yang menebar kebencian, terlebih di tahun krusial saat ini, tahun politik, begitu orang menyebutnya. 

Adakah solusinya? Solusi jangka pendek adalah penegakkan aturan dan hukum. Tutup akun-akun yang berpotensi meresahkan dan tindak secara tegas (hukum) tanpa tebang pilih pelaku-pelakunya. Tindakan represif ini sangat urgent, namun tidak membuat masyarakat menjadi lebih matang dan dewasa. Maka perlu upaya jangka panjang, yaitu penguatan kegiatan literasi untuk semua. Dan idealnya ini dimulai dari rapat-rapat anggota parlemen, kementrian, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia pendidikan. Di jagat pendidikan, adalah para guru dan dosen sebagai motornya dan suri tauladannya. 

Oleh: Muchsin Ismail

Menyoal Kecerdasan, Hindari Jebakan "Bat Man"

Kecerdasan
Howard Gardner dalam bukunya Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences, mengupas tuntas ihwal kecerdasan. Baginya, kecerdasan itu memiliki banyak bentuk, mulai dari kecerdasan musikal, logis-matematis, gerak tubuh sampai dengan kecerdasan empatis dalam hubungan antar manusia.

Masyarakat Indonesia sampai hari ini, ketika melihat kecerdasan, masih cenderung ke arah kecerdasan logis-matematis. Namun memang pandangan ini mulai berkurang seturut dengan perkembangan zaman, kemajuan teknologi, dan arus deras informasi di wilayah publik Indonesia.

Entahlah, seakan mengamini cara pandang Gardner, kurikum kita, Kurikulum 2013 versi revisi 2017, dalam proses pembelajaran didalamnya sudah mengintegrasikan berbagai anasir kecerdasan, seperti penguatan pendidikan karakter, literasi, 4C, dan kecerdasan berpikir tingkat tinggi atau HOTs.

Masih butuh waktu untuk melihat out put dari penerapan K13 yang direvisi ulang pada 2017. Akan seperti apa kecerdasan yang dimiliki anak bangsa? Jawabannya bisa sepuluh, duapuluh, dan atau tigapuluh tahun mendatang. Dengan catatan pemerintah tidak buru-buru mengganti kurikulum yang sedang berlaku. Hendaknya tidak seperti yang sudah-sudah ganti menteri ganti kurikulum.

Kita sedang memasuki tahun penting dan krusial di tahun 2018 dan 2019 ini, sebab di tahun ini bangsa Indonesia melaksanakan pemilu kada serentak dan disusul pileg dan pilpres tahun 2019. Kemudian publik menyebutnya sebagai tahun politik.

Adalah penting bagi kita selaku masyarakat pemilih, ketika memilih calon tersedia, menimbang calon yang sedang bersaing apakah politisi tersebut memiliki kecerdasan politik (political intelligence) , diluar kecerdasan yang disebutkan oleh Gardner.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kita bisa mengenali politisi yang memiliki kecerdasan politik? Adalah Ellen Vrana, salah satu penulis politik asal AS, merumuskan lima ciri dari kecerdasan politik, yakni integritas, kesadaran diri, empati, strategi dan eksekusi. Ia memahami kecerdasan politik sebagai kemampuan untuk mempengaruhi orang, guna mewujudkan tujuan-tujuan tertentu.

Pertama, politisi yang di dalam dirinya terdapat sikap integritas, akan mampu bersikap jujur, adil, tidak menebar fitnah, memiliki prinsip, efektif dan efisien, dan berpihak pada kepentingan masyarakat banyak.

Kedua, politisi yang sadar diri, tentu saja dapat memahami dengan baik kelebihan dan kekurangan dirinya sendiri.

Kerja seorang politisi adalah berbicara. Tapi politisii yang sadar diri, tahu kapan dia harus bicara dan kapan dia harus diam. Baginya berkomentar pada setiap hal tanpa berpijak pada data dan fakta, juga analisis yang dalam, hanya akan memerkeruh keadaan dan membuat gaduh.

Kesadaran diri akan melahirkan sikap tahu diri. Jika sudah terbukti korupsi atau tak lagi dipilih oleh rakyat, dengan kesadaran diri, orang lalu bisa mundur dari panggung politik dengan terhormat.

Ketiga, bagi siapapun memiliki sikap empati adalah penting. Empati adalah suatu kemampuan melihat dan merasakan dari sudut pandang orang lain. Ia dasar untuk bisa saling menghormati.

Politisi dengan empati yang tinggi akan mampu berdialog, berdebat, dan menghargai perbedaan pendapat secara elegan, bukan sebaliknya asal ngomong, menyerang, melecehkan, dan melakukan pembunuhan karakter, karena pijakannya adalah empati dan akal sehat.

Keempat, Strategi dan Eksekusi. Politisi yang meniliki kecerdasan politik adalah dia yang juga memiliki kemampuan berstrategi dan mengeksekusinya dengan baik.

Ia mampu merencakan kegiatan seraya mampu membaca dampak-dampak yang akan timbul dari kegiatan tersebut.

Dengan strategi yang bermutu, penelitian yang mendalam dan luas, serta ditunjang kajian ilmiah dengan pola pikir terbuka, bebas, rasional dan kritis, maka akan melahirkan kebijakan jangka panjang yang nyata dan bisa dirasakan manfaatnya secara bersama-sama mulai sejak kebijakan itu dieksekusi. 

lambat tapi pasti, dengan kelima ciri kecerdasan politik ini, citra perpolitikan kita akan semakin baik. Kerja politik pun akan menjadi kinerja yang sangat dihormati masyarakat. Dan partai politik pun menjadi kendaraan yang bisa bersaing sehat dan beradab, jauh dari praktik-praktik transaksional, guna meraih kekuasaan menuju pencapaian tertentu yang positif bagi masyarakat luas.

Oleh: Muchsin Ismail

Proaktif Dalam Pendidikan Anak

Manusia merupakan makhluk berpengetahuan dan kenapa begitu ia lahir disambut oleh keluarganya dengan suka cita. Memang pada kasus tertent...